Selasa, 06 Mei 2008


MARI MERAJUT CINTA!


Jika dalam pemahaman seseorang, dia memahami penciptanya yang memberi anugrah kepadanya adalah Tuhan, tapi pada saat yang sama dia masih melihat adanya tandingan-tandingan sehingga mereka mengapresiasi yang selain Allah itu seperti Allah, maka jika dia patuh kepada Allah, dia juga patuh kepada selain Allah. Kepatuhannya tidak sepenuhnya diberikan kepada Allah.


Padahal orang-orang yang beriman dan punya iman dia hanya mencintai Allah SWT.
Pernah suatu saat Sayyidah Zainab AS bertanya kepada ayahnya Imam Ali: “Wahai ayahku, apakah engkau mencintaiku?”


Imam Ali menjawab: “Tentu. Karena engkau adalah bagian dari diriku, penggalan jiwaku. Pasti aku mencintaimu.”


“Ayah, apakah mungkin di hati seorang mukmin itu cintanya bisa dibagi? Ada cinta untuk Allah dan ada cinta untuk yang selain Allah. Apakah mungkin cinta itu dibagi seperti sebagian cintamu untuk Allah dan sebagian cintamu untuk aku?”


Imam Ali kemudian memuji Sayyidah Zainab dan berkata:
“Ketika aku mengatakan cinta kepadamu, itu bukanlah cinta yang seperti aku berikan kepada Allah SWT. Al Hubb atau cinta yang sebenar-benar cinta tidak boleh tertuju kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Dan kalau aku seandainya mengatakan cinta, maka cinta itu berarti kasih sayangku kepadamu.”


Cerita tersebut sebenarnya merupakan salah satu hal yang sangat penting, karena kebanyakan kegelisahan kita, kegalauan kita, permasalahan-permasalahan yang kita hadapi adalah karena kita masih memberikan porsi cinta kepada yang selain Allah SWT. Ada cinta harta, cinta anak, cinta kedudukan dan sebagainya. Sehingga karena kita memberikan cinta pada hal-hal atau pada obyek-obyek yang tidak layak untuk kita cintai maka obyek-obyek itu menjadikan kita sengsara, membuat kita mengalami konflik dlsb.



Artinya, seorang mukmin seharusnya hanya mencintai Allah SWT.

Hanya cinta kepada Allah-lah yang tidak pernah akan meninggalkan kita, tapi kalau cinta pada selain Allah pasti cinta kita akan ditinggalkan.

Karena selain obyek-obyek itu tidak layak dicintai dan seandainya kita mencintai yang selain Allah, maka yang selain Allah itu akan menyengsarakan kita.


Dalam sebuah doa Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya:
“Ya Allah jadikan aku sebagai hamba dan hamba yang hanya memberikan cintanya kepadaMU. Jadikan kecintaan kepadaMU merupakan hal yang paling aku sukai, dan jadikan ketakutan kepadaMU ya Allah adalah hal yang paling aku takuti. Dan putuslah kecintaanku kepada yang selainMU, kepada kebutuhan-kebutuhan duniawiku dan Kau ganti dengan kerinduan untuk berjumpa denganMU.”


Rasulullah juga mengajarkan pada umatnya agar umat ini belajar hanya dan hanya mencintai Allah SWT. Karena sekali lagi, mencintai yang selain Allah pasti akan menyengsarakan hamba itu.


“Ya Allah berikan padaku kecintaan kepadaMU. Pahamkan kepadaku agar aku mampu mencintaiMU.”


Kita ini kadang-kadang meskipun secara aqidah meyakini diri kita sebagai hamba dan kita meyakini ada DZat Yang Maha Kuasa yang kita beri nama Allah atau Tuhan, tapi ternyata keseharian kita atau hati kita atau cinta yang ada di hati kita masih terpaut kepada yang selain Dia.



Seringkali dalam hidup ini kita mendapatkan kesengsaraan demi kesengsaraan, kegalauan demi kegalauan, kecemasan demi kecemasan. Mengapa? Karena cinta yang seharusnya tertuju hanya kepada Allah, masih kita persembahkan untuk yang lain.


Rasulullah mengajarkan kepada umatnya, “Ya Allah aku minta kepadaMU agar Kau tumbuhkan kecintaan kepadaMU karena hanya cinta kepadaMU yang BENAR dan kepada yang selainMU SALAH! Tumbuhkan juga kecintaan kepadaku kecintaan kepada orang-orang yang mencintaiMU.”


Jadi adakalanya keluarga itu tidak layak untuk mendapatkan cinta dari keluarganya sendiri persis seperti yang digambarkan tentang istri dan anak Nabi Nuh AS dimana ketika Nabi Nuh masih memberikan porsi cinta kepada istri dan anaknya tapi ketika istri dan anaknya tetap menunjukkan kekufuran kepada Allah, Allah berkata: “Wahai Nuh, dia sudah bukan lagi keluargamu dan dia tidak lagi layak untuk mendapatkan cinta darimu.”


Masih dalam doa Rasulullah “Dan tumbuhkan kecintaan kepada diriku, Ya Allah, pada amalan-amalan yang mampu menyampaikan aku kepada kecintaan kepadaMU.”


Mungkin diantara hal-hal yang seringkali membuat hati kita gelisah dan cemas adalah karena kita masih belum pernah menyerahkan cinta ini sepenuhnya kepada Allah SWT.
Rasulullah pernah menasehati umatnya dengan memberi semacam cara ketika hamba itu ingin mencintai Allah. Rasul berkata, “Serahkan semua ruang yang mungkin memberikan cinta dalam hatimu itu hanya untuk Allah SWT . Cintailah Allah dan berikan semua hatimu kepada Allah. Jangan kau sisakan cinta itu kepada yang lain. Seandainya engkau mau mencintai yang selain Allah, maka pastikan kecintaanmu itu akan mengantarkanmu ke kecintaan kepada Allah. Seandainya kamu mencintai sesuatu dan cinta pada sesuatu itu tidak ada hubungannya dengan cinta kepada Allah, maka tinggalkan cinta seperti itu dengan seluruh atau dengan segenap hatimu.”


Imam Ali AS pernah punya munajat dan munajat ini kalau kita baca biasa saja menggambarkan betapa seorang Imam Ali sampai pada makna tauhid yang sebenarnya.
“Ya Allah, cukup bagiku kebanggaan, cukup bagiku kemuliaan bahwa aku adalah hambaMU.”
“Sebagaimana aku mencintaMU, maka jadikan aku sebagaimana Engkau ingin aku untuk menjadi seperti itu.”
Bahwa aku sebagai hambaMU itu sudah cukup bagiku. Aku tidak perlu mendapat kemuliaan yang lain.


Kalau kita mau mengkaji lebih jauh, memang tidak ada kemuliaan yang melebihi bahwa kita ini hamba Allah SWT.


Permasalahan-permasalahan yang kita hadapi adalah hanya SATU penyebabnya. Yaitu kita masih memberikan cinta atau hati kita masih kita letakkan di dalamnya hal-hal yang selain Allah SWT. Karenanya, seakan-akan kita ini selalu dipenuhi dengan berbagai macam masalah. Kalau seorang hamba itu mampu memenuhi seluruh hatinya hanya dengan kecintaan kepada Allah SWT, maka dia akan menjadi la khoufun ‘alaihim walahum yahjanuun. Tidak pernah tenang dan bersusah hati.

Ciri-ciri hamba yang hatinya masih punya porsi cinta untuk selain Allah adalah mereka akan selalu cemas atau mudah cemas atau mudah bersusah hati.

Dalam sebuah riwayat, Allah SWT pernah berkata kepada Nabi DAUD AS.
“Wahai Daud, sampaikan pada penduduk bumi: Aku adalah Zat yang mencintai orang-orang yang mencintai Aku.”

Bayangkan, Allah dengan segala kemuliaan dan kebesaranNya, mengatakan bahwa siapapun yang mencintaiKU maka cintanya tidak akan bertepuk sebelah tangan.


Seandainya kita mencintai orang lain, adakalanya cinta kita tidak disambut, adakalanya cinta kita bertepuk sebelah tangan.


Tapi Allah dengan segala kebesaran dan kemuliaanNya mengatakan bahwa siapapun yang memberikan cintanya padaKu, pasti aku sambut cintanya.


“Wahai Daud, sampaikan pada penduduk bumi: “Aku adalah Pecinta orang-orang yang mencintai Aku. Dan Aku berada dekat dengan orang yang berusaha mendekati Aku. Dan Aku akan selalu menghibur orang-orang yang terhibur dengan menyebut NamaKu. Dan aku akan menjadi teman yang setia bagi orang-orang yang mau mendekatkan dirinya kepadaKU. Aku juga akan memilih orang-orang yang memilih Aku.”

Bayangkan dengan semudah rumusan ini, seandainya kita memilih Allah, maka pada pada saat yang sama Allah juga akan memilih kita. Apa yang akan kita dapat seandainya kita adalah termasuk hamba-hamba yang dipilih Allah SWT.

Ini sebuah rumusan yang pasti dimana Allah berkata kepada NabiNya Daud AS.


Sebuah ungkapan yang fenomenal dari Allah SWT.
“Dan Aku akan taat, aku akan patuh kepada siapapun yang takut kepadaKU.”

Kita pernah mendengar saat-saat dimana rumah Sayyidah Fathimah Az Zahra AS didobrak oleh sekelompok orang dimana Sayyidah Fathimah melihat Imam Ali bin Abi Tholib AS diikat lehernya dan ditarik paksa untuk memberikan baiatnya.
Sayyidah Fathimah pada saat itu berkata pada mereka yang melakukan kedholiman yang seperti itu pada suaminya:
“Seandainya kalian tidak meninggalkan perbuatan ini, maka aku akan pergi ke makam ayahku, aku akan urai rambutku, dan aku minta kepada Allah agar Allah menurunkan azabnya saat ini juga kepada kalian.”


Ketika itu mereka tidak menghiraukan ancaman AzZahra AS. Dan akhirnya Beliau sempat melangkahkan kakinya menuju makam ayah Beliau AS. Namun kemudian Imam Ali dalam keadaan teraniaya seperti itu berkata, “ Wahai Salman, Wahai Salman, cegahlah Zahra, jangan sampai dia tiba di depan makam ayahnya dan melakukan seperti yang dia katakan. Seandainya dia tidak ada yang menghalangi dan dia sampai berdiri di depan makam ayahnya, dia mengurai rambutnya dan minta pada Allah agar segera menurunkan azabNya, maka pada saat itu juga Allah akan pasti menurunkan azabNya pada orang-orang yang menzalimi aku saat ini.”

Kata Imam Ali kepada Salman. “ Ingatkan kepada istriku bahwa ayahnya datang rahmatan lil alamiin. Ayahnya datang untuk memberikan hidayah dan petunjuk pada umat ini. Seandainya umat ini belum menerima maka kita perlu bersabar sampai mereka menerima petunjuk itu.”

Kemudian, ketika Salman mencegah Sayyidah Zahrah Salamullah Alaiha dan menyampaikan pesan Imam Ali kepada Beliau AS, Beliau berkata, “Seandainya bukan Ali, suamiku, yang mengatakan ini, maka aku tidak akan patuh kepadanya. Karena dia suamiku, maka aku patuh padanya.” Kemudian Beliau mematuhi suaminya dan kembali sambil melanjutkan kesabaran dirinya.

Artinya, janji Allah “Aku akan patuh pada hamba-hamba yang patuh kepadaKU,” kepada hamba yang patuh ini, apapun yang dimintanya pasti akan dikabulkan. Jadi seandainya kita punya banyak permintaan pada Allah dan tidak ada yang dikabulkan, karena pada saat yang sama kita belum pernah patuh kepada Alllah SWT. Bagaimana Allah akan patuh pada kita?


Kembali pada perkataan Allah kepada Daud AS, “Tidak ada seorang yang mencintai Aku. Dan Aku tahu bahwa cinta itu betul-betul tulus dari hatinya, Aku akan terima cinta hamba itu padaKU, maka Aku akan mencintainya dan dia akan mendapat cinta dimana cinta ini belum pernah dia dapatkan dari yang selain aku.”


“Barang siapa yang sungguh-sungguh mencari Aku yakni mendekat kepadaKu, pasti Dia akan menemukan Aku. Dan barang siapa yang menggantungkan dirinya atau mencari selain Aku, dia pasti tidak akan menemukan Aku.”


Imam Ja’far Ash Shodiq AS pernah mengungkap sebuah wasiat Luqman AS yang berwasiat kepada putranya bahwa dengan kekuasaan Allah SWT ini sampai-sampai Luqman berkata kepada putranya, “Wahai putraku, takutlah kamu kepada Allah dengan sebuah bentuk ketakutan seandaianya engkau menghadap kepada Tuhan dengan semua kebaikan bangsa jin dan manusia, Dia masih punya hak untuk mengazabmu.
Takutlah kepada Allah dengan sebuah ketakutan seandainya nanti kamu mampu berjumpa dengan Tuhan dengan semua kebaikan bangsa jin dan manusia, Dia masih punya hak untuk mengazabmu. Sebaliknya, berharaplah dan jangan berputus asa dari rahmat Allah karena meskipun kamu nanti menghadap Allah dengan seluruh dosa bangsa jin dan manusia, maka Allah masih punya kemampuan untuk memberikan RamatNya kepadamu.”


Imam Baqir AS kemudian melanjutkan bahwa Allah pernah berkata kepada Musa AS, “Wahai Musa cintailah Aku. Dan engkau juga berusahalah dengan segala daya dan upaya agar hamba-hambaKu juga mencintai Aku.”


Ketika ucapan ini didengar oleh Musa AS, Beliau menjawab, “Wahai Tuhanku, Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mencintai kepada yang selain Engkau, ya Allah. Engkau Maha Suci, Engkau Maha Tinggi. Tapi ketika Engkau perintahkan aku untuk menjadikan hamba-hambaMU juga cinta padaMU, ini yang aku tidak mampu,” kata Musa AS. “Aku tidak punya kendali penuh pada hati-hati hambaMU. Aku tidak mampu memaksa mereka untuk mencintaiMU.”


Kemudian Allah menjawab, “Ada satu jalan agar engkau mampu meminta hamba-hambaKU untuk cinta kepadaKU. Ingatkan mereka akan semua nikmat dan anugerahKU. Maka adakalanya ketika mereka mulai merenungkan tentang berbagai nikmat dan anugerah yang mereka terima, maka adakalanya hamba-hamba ini cintanya akan mulai tumbuh kepadaKU.”


Rasulullah SAW menjelaskan, “Non sen akan ada cinta kepada Allah kalau masih ada cinta kepada yang selain Allah.” Rasul berkata, “Cinta kepada dunia dan cinta kepada Allah, tidak akan pernah berkumpul dalam satu hati. Artinya, kalau orang itu cinta kepada selain Allah berarti dia tidak mencintai Allah.”


Kepada Daud, lagi-lagi Allah berkata, “Ya Daud, untuk memahami apakah diri kita ini punya cinta kepada Allah SWT , Allah memberikan ciri-cirinya, diantaranya barang siapa mencintai orang yang dicintai maka dia pasti akan membenarkan setiap yang diucapkannya. Artinya, kalau kita betul-betul mencintai Allah, maka kita harus membenarkan semua ucapan dan firman Allah SWT, untuk kemudian kita laksanakan. Kalau dia rela kepada seorang yang dia cintai, maka dia juga rela kepada semua tindak-tanduknya. Artinya, apapun yang menimpa kita dalam kehidupan ini, tidak akan membuat kita putus asa atau jengkel kepada Allah SWT.”


Imam Husein pernah berkata “Seandainya Allah rela menjadikan aku dan keluargaku harus menghadapi situasi yang seperti ini di padang Karbala, maka seandainya ini adalah kerelaan Allah, maka kami pun rela. Kami tidak pernah susah ataupun bersedih hati atas apa-apa yang menimpa kami. Ridho Allah, ridhona Ahlu Bayt. Kerelaan Allah adalah kerelaan Ahlul Bayt.”


“Barang siapa yang percaya kepada yang dicintai, maka dia akan bergantung padanya. Dan barang siapa yang rindu kepada sosok yang dicintai, pasti dia akan berusaha untuk menuju pada sosok yang dicintai itu."


Omong kosong kalau ada orang yang mengatakan aku cinta kepada seseorang tapi dia tidak berusaha untuk melangkahkan kakinya untuk mendekati orang yang dicintai itu.


Diantara tanda-tanda kecintaan kepada Allah yaitu apakah diri kita ini selalu ingat kepada Allah. Seandainya waktu-waktu kita dipenuhi dengan dzikrullah, maka pastikan bahwa dalam hati kita ada cinta kepada Allah. Tapi apabila kita masih sering mengingat yang selain Allah, maka berarti di hati kita tidak ada kecintaan kepada Allah SWT.


Dan tanda benci kepada Allah adalah kalau kita tidak suka atau kita malas untuk menyebut nama Allah, untuk beribadah kepadaNYA, pastikan bahwa pada saat yang sama di hati kita ada kebencian meskipun kebencian itu tidak kita ungkapkan sedemikian rupa.


Tanda cinta kepada Allah adalah kita mencintai para Nabi Allah untuk mencontohnya. Tanda kecintaan kepada Allah adalah mencintai apapun yang mempunyai hubungan dengan Allah SWT.



Terakhir dikatakan, bahwa siapa yang telah menemukan Allah, dia akan menemukan segala sesuatu dan barang siapa yang tidak menemukan Allah, maka berarti dia tidak menemukan sesuatu. Karena apa? Karena semua organ cinta ada pada Diri Allah SWT. Kemuliaan, keagungan, kekuasaan dan juga segala-galanya ada pada Allah SWT.


Selamat merajut cinta hanya dan hanya kepada dan untuk Allah SWT.


Ditranskrip dari ceramah Ustad Abdillah Ba’bud

pada acara pengajian rutin Fathimiyah Yayasan Islam Al Kautsar Malang

Sabtu, 22 Maret 2008

Selasa, 05 Februari 2008

C I N T A

Ketika diri tertunduk di atas sajadah

Ketika diri membiarkan hati menangis

Ketika jiwa bertanya

Kutemukan, bahwa...

Cinta

adalah CAHAYA

Cahaya yang sinarnya selalu menerangi

menyejukkan, dan mencerahkan

si pecinta dan yang dicinta...

Ia menyelamatkan

Memuliakan....

C I N T A

Renungan

Manusia adalah makhluk yang tak dapat jatuh cinta pada yang terbatas dan fana

Ia merindukan KESEMPURNAAN MUTLAK dan

tidak dapat mencintai apa pun selainnya

Inilah cinta kepada TUHAN

Orang yang menyangkali Tuhan pun, bahkan yang mengejek-ejekNYA, pada kedalaman


fitrahnya, sesungguhnya mencintai Tuhan. Hanya saja ia salah jalan hingga kehilangan

Kekasihnya.

Selain Tuhan, (kekayaan, kedudukan atau kesenangan), tidak memberinya kedamaian dan


ketentraman. Demikian kata Al Qur’an.

Karena ia bukan tujuan akhir.

Hati hanya terlipur oleh satu hal, yaitu, MENGINGAT ALLAH.


“Keluh dan rintih dalam sakit,
memberikan kesadaran saat itu.
Bila kau sakit, timbul rasa salah
Dan dosa nampak menjijikkan
Lalu kau bertekad
Mengikuti jalan benar,
Dan berjanji menaati seterusnya.
Pastilah sakit mengandung manfaat
Karena memberimu kewaspadaan & perhatian.
Maka ketahuilah
Anda yang mencari penyebab
Orang yang merasa perih,
Makin perih makin waspada
Dan makin besar kewaspadaan
Makin pucat wajah.”

TIDAK MERASA PERIH SAMALAH DENGAN
TIDAK MERASA & MENGERTI

Jasad manusia dimuliakan jiwanya,
dan baju yang bagus ini bukan tanda kemanusiaan.
Bila manusia dikenal melalui mata, hidung, mulut dan telinganya,
Apa beda gambar dinding dengan manusia?”

(Sa’di)

Selasa, 29 Januari 2008

cerpenku

MENJEMPUT PAGI

Kuingin pagi segera datang
Datanglah pagi, tinggalkan malam yang sakit

Suara teriakan, umpatan dan makian kembali terdengar dari balik dinding kamarku. Rumah ini terasa mau roboh menerima getarannya yang menghebohkan. Aku pun kembali muak dibuatnya. Dadaku terasa sesak dan ingin muntah. Teriakan-teriakan amarah itu sangat memekakkan telingaku dan membuat perutku mual. Adalah ibuku yang memaki. Adalah ayahku yang mengumpat. Adalah mereka yang mengeluarkan kata-kata kasar dan menjijikkan. Oh, telingaku. Aku tak sanggup mendengarnya. Maka kututup rapat-rapat kedua lubang telinga ini dengan kedua telapak tanganku. Mataku terpejam dengan tubuh menekuk di atas ranjang. Tapi suara-suara itu, begitu dalam menembus hingga gendang telinga terasa mau pecah. Kepalaku sudah mulai tak nyaman. Panas, pusing, dan …hoek! Reflek tiba-tiba aku mau muntah. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Sesaat, udara terasa berhenti berhembus. Kudengar suara tangis ibuku yang melengking tinggi. Ada suara-suara pecah barang-barang yang dilemparkan. Mungkin vas bunga, cermin, atau apa saja yang ada di dekat ibuku, sedang dilemparkan ke arah ayahku. Pasti ayahku sibuk menangkis-nangkisnya. Dan tiba-tiba …. Brruaakkk!!! Ayahku lari dengan membanting pintu. Seolah mata dinding-dinding rumahku terbelalak menahan rasa geram karenanya. Dan aku pun spontan berdiri karena terkejut. Lalu terdengar suara deru mobil. Ayahku pergi meninggalkan kekacauan disertai kemarahan, entah kemana. Aku pun lantas duduk menjatuhkan diri ke atas ranjang. Menangis tanpa suara.
Hampir setiap malam selalu kulalui dengan suasana yang mencekam dan nyaris membuatku gila. Menyiksa dan menyakitkan.

Setelah itu, hening. Suara tangis ibuku mulai lamat-lamat terdengar. Sepi yang mencekam kembali hadir. Seperti biasa, aku mendatangi ibuku yang menggigil dengan isak tangisnya. Kubelai rambutnya, kuusap wajah basahnya, lalu kucium keningnya. Terkadang aku mendekapnya, tapi terkadang segera kutinggalkan setelah menyelimuti tubuhnya. Ijah, pembantuku itu, tanpa kusuruh pun juga sudah tanggap untuk segera membereskan kamar ibuku yang berantakan setelah perang dengan ayahku.

Aku pergi dengan hati yang perih dan kosong. Sekosong tatap mata ibuku yang menatapku seolah aku hanya sebuah bayang yang datang dan segera lenyap yang kemudian akan datang lagi dengan cara dan dalam situasi yang sama.

Rembulan merangkak pergi
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan asa.

Senyum Ijah menyapaku bersama pagi. Kami pun lalu berangkat bersama ke sekolah. Meski pembantu, karena usianya yang sama denganku, ibuku menyekolahkannya di sekolah yang sama denganku, tapi kami tidak satu kelas.

Di sekolah, adalah Gadis teman sebangkuku. Cantik, lincah, agresif. Setiap pagi wajahnya selalu cerah berbinar. Sinar kebahagiaan benar-benar nampak di raut mukanya. Dia menerima banyak limpahan hadiah, perhatian dan kasih sayang dari kekasihnya yang menurut ceritanya adalah anak seorang pejabat kaya. Keceriaannya sedikit mengobati hatiku yang mendung. Seringkali aku sangat merindukan keceriaan seperti itu hadir di wajah ibuku, mengantar hari-hariku. Tapi kerinduan itu tak pernah terobati. Hanya mata yang sembab, wajah yang murung, tubuh yang ringkih dan hati yang gelisah. Hanya itu yang selalu kutemui dalam diri ibuku. Terkadang aku merasa kasihan, sedih, tapi di lain waktu aku juga merasa marah dan muak. Hanya, kemarahan dan kemuakan itu tak pernah bisa kumuntahkan. Tidak adil rasanya bila dia harus menerima kemarahan atau bahkan sekedar kekesalan dariku setelah hampir setiap malam nyaris tak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian ayahku, setelah setiap malam merasakan derita, dan setelah setiap malam diamuk sepi yang mencekam. Ibuku, sangat menderita dan rapuh. Hatinya terabaikan.

Lalu aku? Bukankah aku juga terabaikan? Bukankah mereka, ayah ibuku, juga mengabaikanku? Tapi, aku tidak rapuh walau tangan ibu tak pernah membelai rambutku, walau lengan ayah tak pernah hangat mendekapku. Bukankah selalu aku yang datang di malam hari untuk tetap meyakinkan hati ibuku bahwa sesungguhnya dia ada dan berharga. Bukan kebalikannya. Ah, kenyataannya, aku tidak memerlukan jarum-jarum suntik, sabu-sabu atau berteman dengan dunia gemerlap malam seperti kebanyakan anak-anak yang frustasi karena kurang perhatian orang tua. Aku tidak perlu semua itu.

Aku hanya memerlukan wajah-wajah yang ceria, setidaknya seperti wajah Gadis teman sebangkuku ini. Ayahku seharusnya memperhatikan ibuku seperti pacar si Gadis yang selalu memperhatikan dia sehingga membuat batinnya puas, tenang dan damai, lalu terpancar senyum di wajahnya yang tertuju hanya untukku.
“Kalau begitu, elo aja yang pacaran,” kata si Gadis pada suatu ketika sebelum pelajaran pertama dimulai. “Tapi jangan sama si Adit. Percuma, buang-buang waktu.”
“Lalu sama siapa? Sama anak sang pejabat kaya meski lo gak cinta?”
“Begitulah.”
“Dasar cewek matrek lo. Gue udah kaya, tahu nggak sih.”
“Ih, sombong.”
“Bukan sombong, tapi kenyataan. Lagian gue nggak suka pacaran. Lihat muka lo yang ceria itu gue juga udah seneng.”
Senyum si Gadis mengembang. Dia merangkul dan mencium keningku. Ah, seandainya ibuku yang melakukan hal itu.

Dan satu lagi pagi telah usai kulalui.
Seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, hari-hari sering selalu sama. Membosankan, menjemukan dan yang sangat tidak menyenangkan adalah menyakitkan. Tiba-tiba aku merasa ingin mati. Rapuhkah?

Siang mulai mengintip senja. Kulihat Ijah sedang sujud di kamarnya. Sedang ibuku duduk menghadap kaca menatap kosong pemandangan luar sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Ibu, kau masih mengenalku kan?” kataku sembari kuambil sisa rokok di tangannya lalu kubenamkan ke dalam asbak.
“Bicara apa kamu. Tentu saja. Kamu anakku.” Suaranya begitu berat dan lirih tak bersemangat tanpa daya. Aku merangkulnya dari belakang. Ingin sekali aku menanyakan perihal ayah. Apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka. Tapi pertanyaan itu tak pernah meluncur karena tiap kali sebutan ‘ayah’ terucap dari mulutku, reaksi ibuku sangat mengejutkan. Dia seperti berada di dunia lain yang mencari-cari sesuatu. Merintih, menangis, meraung sambil memukul-mukul dadanya sendiri atau menjambak-jambak rambutnya. Atau kalau tidak begitu, bayang ayahku seolah hadir mendekapnya lalu mulut ibu dipenuhi kata-kata lembut dan mesrah. Membuatku bingung dan takut. Duh! Pikiranku benar-benar kacau. Kacau dan kacau! Rumah ini telah menjadi sebuah neraka jahanam yang teramat panas.
Segera kulepas dekapanku. Lari dan membanting pintu meninggalkan ibuku yang sama sekali tak pernah menganggapku ada. Ibu …. bahkan terkadang ingin sekali aku mengakhiri penderitaanmu agar segera berakhir penderitaanku. Terkadang iblis juga membisikkan sesuatu yang membuatku takut. Tapi bagaimana mungkin aku membunuhmu?

Rembulan kembali hadir
Datanglah malam, meski kau mengendap-endap dengan segala kesamaran

Malam yang selalu samar membisikkan sesuatu ke dalam hatiku. “Ayah, aku membencimu…”
Malam ini seperti samar aku datang mengendap-endap ke kamar Ijah. Aku ingin sembunyi di kamarnya sambil sayup-sayup mendengar suaranya melantunkan ayat-ayat suci hingga aku tertidur. Karena malam ini, aku takut mendengar suara caci maki antara ayah dan ibuku. Aku takut dadaku sesak dipenuhi kata-kata keji dan kotor. “Ijah, ijah, biarkan aku sembunyi di sini, di dalam kamarmu. Aku takut dengan suara-suara itu.” Ijah menyambutku dalam dekapannya seolah aku adalah putrinya. Malam ini, aku menangis di pangkuannya hingga terlelap. Samar kulihat, dia pun menitikkan air mata.

Lagi-lagi, bulan mulai separuh
Datanglah pagi meski kau tak menjanjikan harapan

Ijah mengusap basah di wajahku. Air wudhu, katanya.
“Sholat Neng, subuhnya hampir habis.”
Aku menggeliat. “Tuhan tidak memberiku bahagia. Mengapa aku harus sholat?”
Ijah terdiam. Tersirat di wajahnya sedang memikirkan jawaban. Ini adalah nasehatnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi entah mengapa aku masih merasa tidak ingin melakukannya. Lalu terdengar lirih suaranya, “Hidup di dunia sudah tidak bahagia, masa di akhirat juga harus menderita….”
Aku tergerak mendengarnya.
“Apakah Tuhan akan menghilangkan hari-hari sepiku, Ijah? Aku benci sepi. Aku benci.” Perih hatiku menjerit.
“Menghadirkan Tuhan dalam hati, bukan hanya sepi yang akan hilang. Segala kegundahan dan kegelisahan pun juga akan lenyap. Tidak takut, tidak khawatir dan tidak cemas. Karena Tuhan selalu bersama kita.”

Sungguh, aku hanya heran, mengapa Ijah bisa mampu mengeluarkan kata-kata itu. Apakah dia tidak mengetahui deritaku yang selalu disaksikannya? Tapi hari ini Ijah telah membuat pagi hariku tidak seperti biasanya. Nasehatnya untuk menghadirkan Tuhan dalam hati sangat luar biasa walau akhirnya dengan malu-malu aku mendatangi-Nya. Lalu, beberapa malam, aku merasa betah tidur di kamarnya, meski malam tetap dibumbui jerit tangis pilu ibu dan bentakan-bentakan kasar ayahku.

Tapi beberapa hari ini juga ada sesuatu yang ganjil, mengganjal perasaanku. Gadis tidak masuk sekolah. Tanpa memandang senyumnya yang ceria, tanpa menerima dekapannya dan tanpa merasakan kecupannya di keningku, masih terasa ada yang kurang. Bahkan terasa ada dalam jiwaku yang hilang. Tidak cukup hanya dengan nasehat Ijah. Entah mengapa. Aku bahkan pernah sangat merindukannya. Hanya dia yang bisa membuatku seperti itu. Dia Gadis yang hangat dan menyenangkan dalam segala hal. Hanya satu yang paling tidak aku sukai. Yaitu bila dia menceritakan kemesraan pacarnya. Aku sangat tidak suka dan tanpa sadar pernah memarahinya habis-habisan. Sejak itu, dia tak pernah lagi menceritakan kemesraan pacarnya. Anehnya, dia tidak pernah membenciku. Dia begitu pengertian. Dan setelah beberapa hari tidak melihatnya tanpa kabar yang jelas, aku semakin didera rasa rindu bercampur cemas dan gelisah. Mengapa?

Fajar mulai tenggelam
Datanglah malam, meski dengan segala siksamu


Malam ini, aku tak ingin membelai wajah ibuku. Aku gelisah. Seharusnya dia yang membelai jiwaku, mengisi ruang hampaku. Hatiku memendam kekecewaan kepadanya. Maka, sebelum tangisnya menyesakkan dadaku, aku meninggalkan rumah menjumpai Gadis yang sangat kurindukan. Aku ingin mengetahui keadaannya dan apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Kuselusuri jalan malam dengan hati yang diburu perasaan gelisah. Kularikan mobil dengan sangat kencang seperti orang kesurupan agar segera sampai di rumah Gadis. Entah kenapa aku seperti orang yang sedang dikejar sesuatu yang tidak kumengerti.

Akhirnya sampai juga. Kuhela nafas lega dan panjang. Di luar pintu rumahnya, kudengar suara desah. Suara itu seperti … Ah! Darahku mendidih. Mengapa tiba-tiba aku dibakar rasa cemburu? Hampir saja aku membuka paksa pintu itu, tapi segera kuurungkan. Aku khawatir Gadis mengetahui bahwa aku … aku merindukannya. Oh Tuhan, perasaan apakah ini. Bukankah seharusnya perasaan semacam ini tak boleh bersemayam dalam hatiku? Tapi… Ah, aku tidak tahu!

Saat batinku bergejolak diamuk berbagai macam perasaan, pintu itu terbuka diiringi tawa mesra si Gadis yang bergelayut mesra di lengan pacarnya. Aku tercekat, mataku terbelalak. Astaga! Lelaki itu …. “A’ …. Ayah!”

Dan malam merangkak pilu menjemput fajar….

Senin, 28 Januari 2008

Tentang Kasus Hukum Almarhum Soeharto

Hukum di negara ini tak punya ketegasan dan kepastian. Pro dan kontra mengenai dihentikannya tuntutan terhadap mantan bapak pembangunan hanya mencuat saat krisis melanda tubuh tuanya. Ketika krisis berlalu, pro kontra pun ikut berlalu. Mungkinkah memang sengaja dibuat begitu. Pasti. Karena ketegasan dan kepastian hukum atas dirinya akan membawa dampak buruk bagi mayoritas pengelola negara dan mantan pengelola negara. Tak ada jaksa penuntut yang berani menuntut karena akan ikut tertuntut. Tak ada hakim yang berani menghakimi karena pasti akan ikut terhakimi. Tak ada pengadilan yang berani mengadili karena pasti ikut ter-adili.
Sehingga biarlah ia mengalir begitu saja lalu menggenang seperti cairan di tubuhnya kemudian diam, membisu dan berlalu.

Kini... Pak Harto telah tiada...
Mungkinkah, sebagaimana ketika masih hidup dan sakit-sakitan kepastian hukum atas dirinya yang mengalami fluktuatif, kini setelah kematiannya hukum atas dirinya juga dimatikan (alias ditiadakan alias dimaafkan?). Dan berlalulah status hukum Pak Harto.

Menurut saya tidak harus demikian. Bagaimanapun keadilan harus tetap ditegakkan. Pak Harto harus tetap diadili jika kita memang benar-benar menghargai jasa-jasanya semasa hidup. Karena tanpa mengadili kesalahan-kesalahannya terhadap seluruh rakyat Indonesia, justru akan menambah bebannya di alam kubur. Memaafkan Pak Harto begitu saja tanpa proses hukum yang adil berarti membiarkan Pak Harto tersiksa.

Tapi sebagai masyarakat kecil apa yang bisa saya lakukan?
Ini tanggung jawab pemerintah. Sebagai rakyat, kita sudah menyatakan sikap.

Ya, sudahlah!
Toh Hakim Pengadilan Sejati tak akan diam. Hakim Sejati Yang Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Adil lah yang akan memutuskan.

Hanya, seberapa beranikah dia atau kita menyongsong pengadilan Zat Yang Maha Tunggal?
Kata Imam Ali: “Demi Allah, saya lebih suka melewatkan malam tanpa kantuk dan terbaring di atas duri-duri sa’dan atau digiring dalam keadaan bagai narapidana yang terbelenggu ketimbang menghadap Allah dan Rasul kelak di Hari Pengadilan sebagai pelaku kejahatan terhadap seorang hamba Allah atau sebagai pengambil hak seseorang.”

Minggu, 20 Januari 2008

May I say : I want and I need a leader like you, Mr. Ahmadinejad, not the man beside you